Aceh dari Konflik ke Damai Pandangan Filsafat ~ ACHEH SOCIAL SCIENCE DEVELOPMENT
#header .heading a {content:url(https://lh3.googleusercontent.com/-2gnbatW8xoM/V-vjvt7aZiI/AAAAAAAAABY/0188kqgdBxse8xNklbLzZpc9roWZyiuBgCJoC/w530-h375-p-rw/assd.jpg);text-align:left;}

Monday 26 September 2016

Aceh dari Konflik ke Damai Pandangan Filsafat


         Dalam konteks Aceh, konflik kekerasan yang berkepanjangan telah memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat baik dari segi politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya. Kemudian dari pada itu pendekatan yang dominan konsekuensi konflik antara pemerintah dan para pejuang aceh hingga membuat masyarakat sipil diaceh terpolirisasi dan hilang orientasi. Dengan fenomena konflik yang berkepanjangan telah menempatkan rakyat aceh atau masyarakat sipil sebagai komponen marginal antara RI dan GAM dalam mengekpresikan aspirasi hak-hak dasarnya sebagai masyarakat sipil. Ironisnya, ketika menguatnya konflik, realitas banyak keberadaan masyarakat sipil di aceh terkesan tidak di akui keberadaannya.
Menjelang berakhirnya darurat militer, fenomena pergerakan masyarakat dibeberapa daerah terhadap dukungan perpanjangan diaceh kembali muncul menyikapi kondisi keamanan yang relatif kondusif. Aceh pasca konflik sayogianyalah  masyarakat aceh menyadari bahwa eksitensi masyarakat sipil adalah sejajar dengan negara, dimana hak-hak dasarnya diakui dan di atur dalam konstitusi. Kemudian, kepada pemerintah dan GAM pasca konflik agar tidak menghalangi hak-hak rakyat aceh sebagai masyarakat sipil sesuai dengan konstitusi Hak Asasi Manusia pasal 28 A-28 J UUD 1945. Untuk dapat menyampaikan aspirasinya kepada negara tanpa paksaan, tanpa intimidasi dan rekayasa siapapun sehingga mereka dapat menentukan nasibnya sendiri, hidup bebas sebagaimana rakyat indonesia lainnya.
Melihat dari pohon konflik yang terjadi di aceh secara geologi politik terkesan konflik menjadi bagian tak terpisahkan dari aceh. Fenomena dan realitas ini dapat kita lihat, awal konflik yang terjadi pada masa orde lama, pemberontakan DI/TII tahun 1953, yang [1]dipimpin oleh ulama kharismatik Teungku Bereueh. Kensekuensinya atau persoalannya atas ketidakseimbangan, ketidakadilan, dan mendiskriminasi pusat terhadap aceh. Namun,  kemudian mereda setelah dialog politik dengan sebuah ikrar janji-janji politik terhadap keistimewaan aceh. Tetapi dengan hasil tersebut hingga bertahan lama, sampai order baru rakyat aceh kembali di bohongi oleh pusat(jakarta). Karena dengan persoalannya ekonomi dalam pengambilan migas tidak diimbangi secara berimbang, terhadap hak-hak rakyat aceh dalam pertumbuhan perekonomiannya. Hingga mengakibatkan aceh kembali melakukan perlawanan kepada Pusat. Pada akhir tahun 1976, salah satu keturunan Tgk Chik Ditiro, Hasan ditiro yang memimpin perlawanan yang disebut dengan gerakan aceh merdeka. Dimana mereka ingin menuntutkan kemerdekaan atau ingin berpisah dengan negara indonesia.
   Hampir 25 tahun konflik kekerasan tersebut terjadi, diikuti penerapan DOM. Pasca runtuhnya orde baru, kedua belah pihak antara RI dan GAM, pada tahun 2000-2001 sepakat dalam melakukan dialog international diswiss. Hingga pertemuan tersebut gagal diluar dugaan kita semua, aceh yang sudah demikian menderita karena konflik yang berkepanjangan. Ternyata, dipenghujung tahun 2004 bencana maha dahsyat, gempa dan tsunami kembali meluluh lantakan sebagian besar sendi-sendi kehidupan dan 200 ribu rakyat menjadi korban. Lengkap sudah penderitaan rakyat aceh, dari bencana ulah manusia sampai bencana yang diturunkan sang khaliq, Allah SWT. Bencana tersebut ternyata bukanlah akhir putaran roda kehidupan rakyat aceh. Namun, sebaliknya dampak bencana telah memberi inspirasi dan motivasi internasional untuk membantu kebangkitan aceh. hingga pertemuan terakhir dari hasil kesepakata dialog informal antara RI dan GAM di helsinki, finlandia, dalam bentuk nota kesepahaman (Mou) telah ditanda tangani oleh pemerintah RI dan GAM pada 15 agustus 2005 lalu, Dengan adanya kesepahaman antara pihak RI dan GAM maka,  diharapkan tidak ada lagi permusuhan, pembunuhan, dan kekerasan di tanah aceh. Pasca penyelesaian perdamaian kesepakatan damai memberikan sebuah kerangka guna mengakhiri kekejaman dan sebuah panduan bagi tahap awal reformasi pasca konflik. Kesepakatan ini tidak menciptakan kondisi dimana perpecahan mendalam yang menghasilkan perang secara otomatis dapat diatasi. Mengakhiri perpecahan yang menyebabkan perang, menyembuhkan luka-luka sosial yang diciptakan oleh perang, dan menciptakan sebuah masyarakat dimana perbedaan diantara kelompok sosial dapat diselesaikan secara kompromi dan bukannya melalui konflik kekerasan. Namun melalui dialog pemerintah pusat menawarkan suatu bentuk otonomi khusus yang termasuk dalam MoU Helsinki dan selanjutnya menjadi pijakan awal lahirnya undang-undang No 11 tahun 2006 tentang pemerintah aceh. Keluarnya peraturan perundang-undangan ini menjadi langkah awal bagi aceh untuk menata diri setelah konflik dan bencana yang terjadi di aceh. Otonomi kusus yang diberikan kepada aceh yaitu kewenangan untuk memerintah diri sendiri. Aceh Pasca-MoU Helsinki nota kesepahaman (MoU) Helsinki sebagai kesepakatan untuk menghentikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM tidak dapat dijadikan jaminan  perdamaian yang  hakiki tercipta di Aceh.

      Untuk tataran makro, konflik memang sudah bertahun-tahun.Selesainya konflik bukan berarti berakhirnya konflik, justru setelah hampir bertahun- tahun sejak kesepakatan damai ditandatangani, pola konflik di Aceh berubah. Jika dulu konflik yang terjadi bersifat vertikal (antara Rakyat Aceh yang diwakili GAM dengan Pemerintah Indonesia), sekarang yang justru terjadi adalah konflik Horizontal. Konflik horizontal ini iterjadi akibat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan  baik oleh  Pemerintah  Pusat maupun oleh Pemerintah  Aceh tidak sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat Aceh. Masalah yang muncul kemudian adalah tarik ulur kepentingan dalam perumusan kebijakan untuk Aceh. Tarik ulur ini terjadi baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh dan legislatif Aceh, Pemerintah  Aceh dengan legislatif Aceh, ataupun  antar sesama legislatif  Aceh. Hal ini dimungkinkan karena kebijakan ini merupakan lapangan konflik kepentingan aktor-aktor (eksekutif, legislatif, ataupun kelompok penekan). Perumusan kebijakan  merupakan lapangan bagi aktivitas politik, sehingga aktor politik saling tari ulur. Tarik ulur antara kepentingan dan politik sudah terlihat sejak awal perundingan MoU Helsinki ,dimana terdapat perdebatan tentang makna model pemerintah antara Pemerintah Indonesia dengan GAM.  Pemahaman elite GAM, makna self-government adalah model pemerintahan.
    Bagaimana yang terjadi pada saat ini antara peralihan perjuangan Gam dari bersenjata ke ranah politik setelah 10 tahun perdamaian aceh belum mengakar kuat dan di rasakan dampaknya di masyarakat. Bahkan dalam struktur perjuangan Gam, banyak mantan-mantan kombatan yang tidak mendapatkan kesejahteraan, hal ini di karenakan para elite-elite Gam yang telah memegang tampuk kekuasaan telah terjebak dalam politik. Dimana dalam berpolitik seakan-akan mereka tidak mementingkan rakyatnya bahkan mereka lebih mementingkan dalam hal-hal kepribadiannya sendiri, atau gabuek ngen peng griek. Maka apabila terus terjadi  yang akhirnya cepat atau lambat hingga akan dapat menimbulkan konflik baru, baik secara horizontal maupun vertikal. Sayogiyanya, konsekuensi memang tidak terkendali dari hawa nafsu. Memeng tidak ada larangan untuk memiliki harta dan fasilitas mewah, asalkan itu diperoleh secara wajar, rasional dan halal. Sebaliknya, asalkan melihat dulu secara umum kondisi riil kehidupan rakyat aceh saat ini. Jelaslah penggunaan fasilitas mewah tersebut adalah suatu hal yang belum wajar. Bukankah, masih banyak anak-anak yatim dan janda pasca konflik dan stunami sampai saat ini belum mengecap pendidikan dan hidup miskin. Sungguh ironis ketika kita hidup dengan fasitas mewah, sementara mereka menjadi peminta-minta hanya untuk menjadi sesuap nasi. Semestinya, fenomena ini diminimalisir bahkan dieleminasi. Sehingga, udep beusare mate  sajan. Kalau memang benar perjuangan selama ini untuk rakyat, maka kendalikan hawa nafsu pemenuhan kepentingan pribadi. Berpikir dan berbuatlah demi kesejahteraan rakyat.


    Memang aceh sudah  maju dari berbagai macam hal tapi belum sepenuhnya, yang mana kita lihat dari rakyat-rakyat kecil. Maka faktor yang penting dalam sebuah proses yang berkelanjutan aceh harus belajar atau mengingat dulu masa lalu yang begitu pahitnya terjadinya di aceh dari berbagai macam korban konflik, beberapa kali kegagalan dari fase perundingan, hingga tercapai kesepakatan menerima otonomi khusus yang lewat dari UU nomor 11 tahun 2006. Yang mana pada suatu perdamaian bukan hanya berhenti nya perang dan tidak ada lagi senjata yang menyalak. Tetapi perdamaian ini yang lebih harus dipentingkan terlebih dahulu adalah perdamaian yang berkaitan dengan keadilan, pemenuhan ekonomi hak khusus aceh, dan adanya kesejahteraan bagi masyaraka aceh.