Biograrfi Teungku Muhammad Daud Beureueh ~ ACHEH SOCIAL SCIENCE DEVELOPMENT
#header .heading a {content:url(https://lh3.googleusercontent.com/-2gnbatW8xoM/V-vjvt7aZiI/AAAAAAAAABY/0188kqgdBxse8xNklbLzZpc9roWZyiuBgCJoC/w530-h375-p-rw/assd.jpg);text-align:left;}

Saturday 8 October 2016

Biograrfi Teungku Muhammad Daud Beureueh

Berkas:Teuku Daud Beureueh.jpg
Teungku Muhammad Daud Beureueh (lahir di Beureu'eh, kabupaten Pidie, Aceh, 17 September 1899 – meninggal di Aceh, 10 Juni 1987 pada umur 87 tahun) adalah mantan Gubernur Aceh dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan tokoh kontroversial yang populer di kalangan masyarakat Aceh. Ia melakukan pemberontakan kepada pemerintah dengan mendirikan NII akibat ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno.
Lebih jauh
Siapakah Dia?
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.

Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).

Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.

Pendidikan
Tentang latar belakang pendidikan Daud Beureu-eh, Anggraini dalam tulisannya menyebutkan bahwa Daud Beureu-eh tidak pernah masuk sekolah formal, tetapi meskipun demikian beliau tidak buta huruf dan mengenal huruf latin.
Ibrahimy mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di pesantren. Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu dibawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.
Sebagaimana uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa Abu Daud Beureu-eh adalah ulama lepasan pesantren dan tidak pernah mengecap pendidikan di lembaga formal. Meskipun beliau dididik di dayah yang notabene merupakan lembaga pendidikan tradisional, namun pemikiran keagamaan beliau terbilang maju dan moderat. Dalam pandangan penulis sisi keilmuan beliau cenderung sepaham, seirama dan sebanding dengan pemikir-pemikir terkemuka di Indonesia semisal HAMKA. Cuma saja Abu Beureu-eh dalam kehidupannya tidak meniggalkan karya tulis seperti halnya Ali Hasyimi dan tokoh-tokoh Aceh lainnya sehingga sebagian besar pemikirannya hilang digerus zaman.
Tentang latar belakang pendidikan Daud Beureu-eh, Anggraini dalam tulisannya menyebutkan bahwa Daud Beureu-eh tidak pernah masuk sekolah formal, tetapi meskipun demikian beliau tidak buta huruf dan mengenal huruf latin.

Ibrahimy mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di pesantren. Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu dibawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.
Sebagaimana uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa Abu Daud Beureu-eh adalah ulama lepasan pesantren dan tidak pernah mengecap pendidikan di lembaga formal. Meskipun beliau dididik di dayah yang notabene merupakan lembaga pendidikan tradisional, namun pemikiran keagamaan beliau terbilang maju dan moderat. Dalam pandangan penulis sisi keilmuan beliau cenderung sepaham, seirama dan sebanding dengan pemikir-pemikir terkemuka di Indonesia semisal HAMKA. Cuma saja Abu Beureu-eh dalam kehidupannya tidak meniggalkan karya tulis seperti halnya Ali Hasyimi dan tokoh-tokoh Aceh lainnya sehingga sebagian besar pemikirannya hilang digerus zaman.
Tokoh Yang Mempengaruhi Pemikiran Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh
Daud Beureu-eh sepengetahuan penulis tidak meninggalkan karya tulis yang memuat pokok-pokok pikirannya, baik tentang agama maupun politik. Tgk Daud Beureu-eh terkenal sebagai singa podium yang sering menyampaikan pikiran-pikirannya secara lisan. Dengan demikian pemikiran-pemikiran beliau hanya terekam dalam memori para pendengarnya dan sulit untuk dilacak.
Namun demikian, berdasarkan kajian penulis dari beberapa literatur, penulis berani menduga bahwa Tgk. Daud Beure-eh adalah sosok ulama yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabiya dan juga pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir dan juga ulama-ulama lain yang semisal mereka.
Kesimpulan ini lahir, berdasarkan penulusuran penulis dari beberapa referensi terkait dengan gaya kepemimpinan dan pandangannya tentang agama. Gerakan revolusioner yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh dan kebenciannya kepada kolonialisme hampir menyerupai dengan gaya-gaya Jamaluddin Al-Afghani. Sedangkan dalam hal pendidikan modern, Daud Beureu-eh nampaknya terpengaruh dengan pemikiran Abduh dari Mesir. Dalam hal ketauhidan, penulis punya asumsi bahwa keyakinan Abu Daud Beureu-eh hampir menyerupai dan bahkan seirama dengan Muhammad bin Abdul Wahab yang sangat anti kepada syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.