Teungku
Muhammad Daud Beureueh (lahir di Beureu'eh, kabupaten Pidie, Aceh, 17 September
1899 – meninggal di Aceh, 10 Juni 1987 pada umur 87 tahun) adalah mantan
Gubernur Aceh dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan tokoh
kontroversial yang populer di kalangan masyarakat Aceh. Ia melakukan
pemberontakan kepada pemerintah dengan mendirikan NII akibat ketidakpuasannya
atas pemerintahan Soekarno.
Lebih jauh
Siapakah
Dia?
Teungku
M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama
"Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh
adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang
ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat
setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud
Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh
dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir
saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid
kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya
yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.
Orang
tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab
Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang
diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi
dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu,
pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga
pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche
School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang
telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah.
Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat
kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat
Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.
Dalam
pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari
tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir,
tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah
tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar
belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan
modal bagi keulamaannya kelak.
Sekalipun
tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya
berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu,
termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan
kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu
belajar cepat).
Kemampuan
yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah
wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan
"mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah
menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara
konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa
podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang
ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di
Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau,
tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat
pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang
pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang
yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan
sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan
upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Pendidikan
Tentang
latar belakang pendidikan Daud Beureu-eh, Anggraini dalam tulisannya
menyebutkan bahwa Daud Beureu-eh tidak pernah masuk sekolah formal, tetapi
meskipun demikian beliau tidak buta huruf dan mengenal huruf latin.
Ibrahimy
mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di pesantren. Pertama
sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid
selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu dibawah
pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun
di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.
Sebagaimana
uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa Abu Daud Beureu-eh adalah ulama
lepasan pesantren dan tidak pernah mengecap pendidikan di lembaga formal.
Meskipun beliau dididik di dayah yang notabene merupakan lembaga pendidikan
tradisional, namun pemikiran keagamaan beliau terbilang maju dan moderat. Dalam
pandangan penulis sisi keilmuan beliau cenderung sepaham, seirama dan sebanding
dengan pemikir-pemikir terkemuka di Indonesia semisal HAMKA. Cuma saja Abu
Beureu-eh dalam kehidupannya tidak meniggalkan karya tulis seperti halnya Ali
Hasyimi dan tokoh-tokoh Aceh lainnya sehingga sebagian besar pemikirannya
hilang digerus zaman.
Tentang
latar belakang pendidikan Daud Beureu-eh, Anggraini dalam tulisannya
menyebutkan bahwa Daud Beureu-eh tidak pernah masuk sekolah formal, tetapi
meskipun demikian beliau tidak buta huruf dan mengenal huruf latin.
Ibrahimy
mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di pesantren. Pertama
sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid
selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu dibawah
pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun
di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.
Sebagaimana
uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa Abu Daud Beureu-eh adalah ulama
lepasan pesantren dan tidak pernah mengecap pendidikan di lembaga formal.
Meskipun beliau dididik di dayah yang notabene merupakan lembaga pendidikan
tradisional, namun pemikiran keagamaan beliau terbilang maju dan moderat. Dalam
pandangan penulis sisi keilmuan beliau cenderung sepaham, seirama dan sebanding
dengan pemikir-pemikir terkemuka di Indonesia semisal HAMKA. Cuma saja Abu
Beureu-eh dalam kehidupannya tidak meniggalkan karya tulis seperti halnya Ali
Hasyimi dan tokoh-tokoh Aceh lainnya sehingga sebagian besar pemikirannya
hilang digerus zaman.
Tokoh Yang Mempengaruhi Pemikiran
Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh
Daud
Beureu-eh sepengetahuan penulis tidak meninggalkan karya tulis yang memuat
pokok-pokok pikirannya, baik tentang agama maupun politik. Tgk Daud Beureu-eh
terkenal sebagai singa podium yang sering menyampaikan pikiran-pikirannya
secara lisan. Dengan demikian pemikiran-pemikiran beliau hanya terekam dalam
memori para pendengarnya dan sulit untuk dilacak.
Namun
demikian, berdasarkan kajian penulis dari beberapa literatur, penulis berani
menduga bahwa Tgk. Daud Beure-eh adalah sosok ulama yang terpengaruh dengan
pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabiya dan juga
pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir dan juga
ulama-ulama lain yang semisal mereka.
Kesimpulan
ini lahir, berdasarkan penulusuran penulis dari beberapa referensi terkait
dengan gaya kepemimpinan dan pandangannya tentang agama. Gerakan revolusioner
yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh dan kebenciannya kepada kolonialisme hampir
menyerupai dengan gaya-gaya Jamaluddin Al-Afghani. Sedangkan dalam hal
pendidikan modern, Daud Beureu-eh nampaknya terpengaruh dengan pemikiran Abduh
dari Mesir. Dalam hal ketauhidan, penulis punya asumsi bahwa keyakinan Abu Daud
Beureu-eh hampir menyerupai dan bahkan seirama dengan Muhammad bin Abdul Wahab
yang sangat anti kepada syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.